Mei 02, 2013

Pendar Purnama di Mata El


Mimpi itu datang lagi. Seorang gadis yang sejak dulu aku impikan. Wajahnya bersih berbalut jilbab. Aku melukis kesempurnaannya pada bayang-bayang yang aku cipta dari potongan-potongan impian yang ku pungut setiap waktu. Bayangannya begitu nyata berlari-lari di antara dua alisku. Senyumnya manis menghanyutkan para musafir yang menatapnya. Matanya tanggal lima belas. Hidungnya mancung. Tapi semua keindahan itu aku cipta dalam imajenasiku sendiri.

Keinginan yang begitu kuat mencengkram telah memaksaku berangan-angan. Sosoknya ada dalam bayanganku tapi tidak nyata. Ia tidak ada dalam ruang dan waktu yang ku jalani. Halusinasi yang terlalu halusinatif, pikirku.
          Tapi, Ini adalah kebenaran. Kebenaran bahwa aku sudah lama memimpikan seorang gadis seperti dia. Ia seperti melambai dan mengajakku mengunjungi taman surga. Tapi kok rasanya mustahil. Sosok yang kucipta itu cuma bayangan belaka. Seperti kepulan asap yang kian menipis terbawa angin. Rasanya sulit menghadirkannya dalam nyata.
“Jangan keseringan melamunkannya, nanti bisa stres loh,,” Elfi mengagetkanku dengan sentuhan jari halusnya di pundakku.
“El, jangan menatapku seperti itu! Aku takut tersesat ke dalam matamu yang bulan itu,,”
Seperti surga aku menatapnya. Rambutnya yang wangi dibalut dengan jilbab kesukaanku. Sejenak aku melupakan sosok gadis yang setiap waktu aku muncul hilangkan  dalam imaji. Aku terpesona melihat sosok El yang begitu anggun di depanku.
“Kok menatapku seperti itu, kenapa? Aku cantik yah?? Hahaha..”
El tertawa lepas. Giginya putih seputih salju perasaanku. Sejuk seperti setetes embun yang hinggap pada dedaunan kalbu.
Aku hanya bergeming. Tidak ada kata-kata yang cukup mewakili keterpesonaanku pada sosok El yang begitu indah. Matanya benar-benar purnama. Alisnya bulan sabit. Hidungnya mancung. Dan senyumnya menenggelamkanku pada gelombang keindahan yang Tuhan cipta. Ya Tuhan! betapa sangat indah ciptaanmu yang satu ini!
“Mas! Kenapa sih begitu banget ngeliatku?” El melambai-lambaikan tangannya di dapan mataku. Membangunkanku dari selaksa surga yang aku arungi. Senyumnya kembali memaksaku untuk menikmatinya. Inci demi inci keterpesonaan ini melahirkan getaran rindu yang syahdu.
‘El, aku ingin menikmati keindahan Tuhan yang ada padamu. Aku ingin memilki keindahan itu.’
Kata-kata itu hanya tersumbat di tenggorokan. Aku tak mampu mengatakannya. Lidahku kelu. Kesempurnaan yang amat tabu untuk kumiliki. Kata-kata tak cukup untuk  membahasakan keindahan yang ada pada dirinya.
“Nggak apa-apa, aku terpesona dengan keanggunanmu, El”
“Hemmmmm,,, mulai deh gombalnya..”
Seakan tanpa menyisakan beban El mendorong dahiku dengan telunjuk tangan kanannya yang mungil. Pipinya mengembang bersemu merah. El duduk di sampingku. Seperti seorang penganten, baunya wangi di ujung hidung. Semakin lama wangi itu mengantarkanku pada sosok perempuan yang sering kucipta dalam mimpiku.
Ini adalah kesalahan. Ini adalah penghianatan. Ya Allah, apa perasaanku ini salah?
Pada suatu sore yang hakiki, aku memandangi taburan bunga berbentuk matahari di taman kampus. Aku ingin sejenak membangun keindahan bersama sosok perempuan dalam mimpiku.
“Assalamu’alaikum, Mas ada dimana?” El mengirim pesan pendek ke dalam kotak masuk pesanku.
Seperti ada sesuatu yang lain merasuk dalam dada saat aku lihat ternyata El yang mengirim pesan pendek.
“Mas ada di taman kampus, El”
“El ke sana yah...”
Belum sempat aku balas, dengan senyumnya yang khas El sudah berdiri anggun di sampingku. Lagi-lagi mataku terpenjara pada rerimbun keindahan senyum El. El berbalik menatapku dengan dua matanya yang sejuk. Ada kerinduan di sana.
Setiap kali menatap sosok El, pikiranku selalu saja menemukan sosok perempuan khayalanku. Sudah berabad-abad aku melukis sosok perempuan indah berjilbab, tapi begitu abstrak bagiku. Ia hanya ada dalam pikiranku. Ia seperti nyata tapi tidak ada. Ia ada tapi tidak nyata.
“Kok tumben ada di taman, Mas? Biasanya Mas kan senang banget baca buku,,”
“Karenamu aku jadi begini, El”
Alisnya yang sabit diangkat. Kemudian tersenyum sambil sesekali menghirup udara senja. Matanya terpejam menyatu. Imajenasinya terbang bersama kicauan burung-burung yang hendak kembali ke sangkarnya. Perasaannya mengalir bersama aliran air mancur yang tumbuh meloncat di tengah taman.
Berawal dari intensitas pertemuanku dengan El, aku merasa ingin sekali merasakan udara senja. Buku tak cukup memberikan kebahagiaan bagiku. Tidak seperti kehadiran El di sore itu. Setiap kali aku membuka lembaran-lembaran buku karangan Yasraf, yang ada hanya bayangan perempuan idamanku. Aku sudah mulai tertatih-tatih memahami analogi rizhome yang dicetuskan Deleuze dan Guattari. Pikiranku sudah sulit mengarungi pemikiran-pemikiran Alan Touraine tentang proses akhir sosial yang katanya sebagai akibat modernisasi yang telah mencapai titik ekstrimnya.
“Mas, aku punya sesuatu buat kamu..”
Elfi tersenyum. Aku takut tersesat dan tidak bisa menemukan jalan kembali jika terus menerus menikmati senyuman El yang memabukkan itu.
“Apa itu, El?”
El mengeluarkan sebuah buku tebal dari dalam tasnya. Sampulnya bergambar perempuan berjilbab putih dengan senyum merekah di bibirnya. Senyum yang sering aku temui di bibir manis El. Buku itu ternyata sebuah novel berjudul Perempuan Surga. Tapi aku masih terpana oleh sosok gambar di sampul Novel itu. Sejenak aku membandingkannya dengan sosok El yang begitu nyata di depanku.
“El, bukannya ini kamu yah...”
El hanya tertawa melihat keherananku. suaranya renyah dan halus di telinga.
“Nggak usah kaget gitu lah, Mas!”
El melumat wajahku dengan jari-jari tangannya yang halus. Seperti ada sentuhan lain saat tangan El yang lembut menyentuh wajahku.
“Iya Mas, ini novelku yang kedua. Gambar sampulnya sengaja diambil dari fotoku sendiri. Katanya sih aku lebih cocok jadi gambar sampulnya,,”
Subhanallah! Gadis di sampingku ini benar-benar luar biasa. Umurnya masih 19 tahun tapi sudah produktif melahirkan buku. Beda dengan aku yang sudah berumur 21 tahun tapi masih belum bisa melahirkan sesuatu. Novel yang kupegang saat ini ternyata sudah novelnya yang kedua setelah Lelaki Senja.
Nyaliku semakin ciut di depannya. Sangat pantas ia menjadi gambar sampul di novelnya yang kedua, sebab aku rasa El adalah jelmaan bidadari. Yah bidadari. Parasnya anggun dan mempesona disertai dengan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya. Aku tahu dari temanku. Katanya sebelum masuk di dunia mahasiswa, dulu El pernah nyantri di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Dan juga pernah beberapa kali menjuarai lomba karya cerpen tingkat regional dan nasional.
“Mas, kok malah bengong sih? Dibaca yah,, ini kali pertama aku dekat sama cowok dan memberinya novel,,”
Aku bergeming. Darahku seperti tidak mampu mengalir lagi. Sosoknya sudah sekian detik berlalu dari hadapanku. Menyisakan keindahan yang entah apa aku menamakannya. Terlalu sulit untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa. Biar Tuhan saja yang mengatur. Aku percaya ini rencana Tuhan.
Aku hanya mampu merasakan demam yang aku tidak tahu sampai kapan akan sembuh. Barangkali sampai aku bisa memeluknya. Mungkin. Siapa dia? Elfi? Atau sosok perempuan yang aku cipta dalam khayal?
Rasanya rindu semakin menumpuk. Kisah demi kisah yang meloncat dari lembar ke lembar dalam novel Perempuan Surga, aku menemukan sosok perempuan khayalku. Ia persis menyerupai sosok gadis yang aku cipta dari pengembaraan imajenasi. Semakin jauh aku mengarungi kata ke dalam kalimat, kalimat ke dalam paragraf, dan seterusnya yang lahir adalah senyum El di setiap lembar buku yang aku baca.
Mungkinkah gadis itu adalah El? Rasanya musykil sekali. Apakah ini kejutan Tuhan? Rasanya tumben sekali kalau Tuhan memberiku kejutan seperti itu. Tapi aku tidak menafikan bahwa ada kesejukan dalam hati saat bayangan El selalu datang dalam keseharianku.
Pada sepertiga memasuki pertengahan malam, lamunanku terenggut oleh nada pesan hand phoneku.
Ternyata pesan dari El. Ia menanyakan aku lagi ngerjain apa.
Aku masih sibuk menata jejak lamunan yang sedari tadi timbul tenggelam dalam khayal. Bayanganku meloncat pada pagelaran sore di taman kampus. Elfi. Gadis itu telah memaksaku berkelana ke dalam keindahan yang ia cipta. Sikapnya yang santun, suaranya yang lembut seperti suara melodi pada tangga nada yang entah ke berapa aku sampai lupa menghitungnya. Perkiraanku benar. Aku sudah mulai tersesat dalam rerimbun mata, alis, hidung, bibir dan seluruh bagian tubuhnya yang sempurna.
Aku tengah tersesat ke dalam pesonamu El, balasku. Aku tengah mendayung rasa yang selalu melahirkan kebahagiaan setiap aku menyelaminya. El hanya tersenyum dalam bahasa pesan. Mata dan pikiranku mulai tertarik pada kedalaman rindu yang semakin relung. Wajah El terus menari-nari diantara dua alisku. Seperti tarian india Rani Mukherji di depan The King of Romantic Shakhrul Khan. Aku ingin segera menemukan ujung dari rasa yang tengah melandaku ini.
“Mas, aku ingin menatap matamu lebih dekat,,”
“Kenapa dengan mataku, El?”
“Aku menemukan kenyamanan dan kedamaian dalam matamu, Mas”
Elfi memujiku setinggi langit yang tidak aku tahu tepinya. Jangan memujiku seperti itu El. Aku beneran Mas, jawabnya. El, aku takut jadi korban kebesaran rasa sesaat yang tiba-tiba terjerembab oleh kepalsuan bahasa. Di dekatmu aku seperti menemukan kembali senyumku, katanya. Ah, aku hampir tidak mengerti bahasa perempuan. Bahasanya terlalu halus. Sementara aku sudah terlalu sering memakan bebatuan pegunungan yang bahasanya penuh dengan kerikil tajam.
Di akhir percakapan malam itu, El mengajakku berjumpa di taman kampus seperti tadi sore. Katanya ia ingin menikmati udara senja bersama Lelaki Senja yang ia sayang.
“El, tiba-tiba aku merindukan senyummu.” Bisikku.
Aku merindukan El seperti aku merindukan sosok perempuan khayalku ada dalam nyata. Aku mulai jatuh pada benih-benih cinta yang tumbuh di hatiku dan juga hatinya, mungkin. Semoga saja begitu.
Aku duduk berdua dengan El di sebuah sore yang jingga. Menghadap ke arah badan taman yang dipenuhi bunga matahari, sejuk rasanya. Seperti ingin berlama-lama saja duduk berdua dengan El. Sesekali aku meliriknya seperti ada yang menarikku untuk selalu menatap wajahnya. Terkadang mataku dan matanya bertemu pada satu titik tatapan. El hanya tersenyum malu dengan pipi merah merona di balik balutan jilbab. Ya Tuhan, ciptaan-Mu ini benar-benar sempurna.
“Mas curang,,”
Teriak El manja sambil memukul-mukul kecil pundakku dengan kedua kepalan tangannya yang mungil. Aku pura-pura tidak mengerti. Ada perasaan senang saat El merajut manja di sampingku.
“El, aku juga ingin menatap matamu”
“Kenapa?”
“Aku ingin mencari kebenaran atas rasa yang aku punya. Beberapa hari ini aku merindukanmu, El. Tiba-tiba aku ingin memintal sastra setiap kali membayangkan dirimu. Aku ingin belajar keindahan bahasa pada para penyair untuk aku persembahkan padamu.”
“Mas, aku ingin kamu mengabadikan namaku di hatimu. Lalu kita bersama-sama memasang batu cinta di hatiku dan hatimu.”
El menatapku dengan matanya yang bulan. Ada kebenaran di sana. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Nafasnya wangi sewangi kesturi. Aku ingin lama menjelajahi alisnya yang hutan, menyusuri jalanan hidungnya yang mancung menikung. Nafasku dan nafanya berhembus berkejaran tak beraturan sangat dekat, hangat.
“Aku ingin menikmati pertemuan ini, mas”
El melumat kerinduanku dengan bibirnya yang basah merah meloni. Nafasnya meloncat-loncat berletupan. Aku pun membalasnya. Sore itu aku dan El melumat segala apa yang dirindukan.
Sore yang sempurna. Walau begitu, waktu terasa cepat berlalu padahal ayat-ayat rindu masih belum sepenuhnya kubacakan. El pamit pulang membawa setangkai bunga kebahagiaan yang ia petik dari perjamuan rasa. El mengambil tanganku dan menciumnya. Damai hatiku.
El, rindu ini akan terus tercipta untukmu. Walau terkadang sunyi kerap kali menghempaskanku pada gelora rindu yang gagal kupecahkan pada setiap pertemuan. Tapi aku ingin mengekalkannya dalam sebuah doa di setiap sujudku.


Latif Fianto Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Cabang Malang dan tercatat sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. Saat ini tinggal di Malang.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo