Mimpi itu datang lagi. Seorang gadis
yang sejak dulu aku impikan. Wajahnya bersih berbalut jilbab. Aku melukis
kesempurnaannya pada bayang-bayang yang aku cipta dari potongan-potongan impian
yang ku pungut setiap waktu. Bayangannya begitu nyata berlari-lari di antara
dua alisku. Senyumnya manis menghanyutkan para musafir yang menatapnya. Matanya
tanggal lima belas. Hidungnya mancung. Tapi semua keindahan itu aku cipta dalam
imajenasiku sendiri.
Keinginan yang begitu kuat mencengkram
telah memaksaku berangan-angan. Sosoknya ada dalam bayanganku tapi tidak nyata.
Ia tidak ada dalam ruang dan waktu yang ku jalani. Halusinasi yang terlalu
halusinatif, pikirku.
Tapi, Ini adalah kebenaran. Kebenaran
bahwa aku sudah lama memimpikan seorang gadis seperti dia. Ia seperti melambai dan
mengajakku mengunjungi taman surga. Tapi kok rasanya mustahil. Sosok yang
kucipta itu cuma bayangan belaka. Seperti kepulan asap yang kian menipis
terbawa angin. Rasanya sulit menghadirkannya dalam nyata.
“Jangan keseringan melamunkannya, nanti
bisa stres loh,,” Elfi mengagetkanku
dengan sentuhan jari halusnya di pundakku.
“El, jangan menatapku seperti itu! Aku
takut tersesat ke dalam matamu yang bulan itu,,”
Seperti surga aku menatapnya. Rambutnya
yang wangi dibalut dengan jilbab kesukaanku. Sejenak aku melupakan sosok gadis
yang setiap waktu aku muncul hilangkan dalam imaji. Aku terpesona melihat sosok El
yang begitu anggun di depanku.
“Kok menatapku seperti itu, kenapa? Aku
cantik yah?? Hahaha..”
El tertawa lepas. Giginya putih seputih
salju perasaanku. Sejuk seperti setetes embun yang hinggap pada dedaunan kalbu.
Aku hanya bergeming. Tidak ada kata-kata
yang cukup mewakili keterpesonaanku pada sosok El yang begitu indah. Matanya
benar-benar purnama. Alisnya bulan sabit. Hidungnya mancung. Dan senyumnya menenggelamkanku
pada gelombang keindahan yang Tuhan cipta. Ya Tuhan! betapa sangat indah
ciptaanmu yang satu ini!
“Mas! Kenapa sih begitu banget
ngeliatku?” El melambai-lambaikan tangannya di dapan mataku. Membangunkanku dari
selaksa surga yang aku arungi. Senyumnya kembali memaksaku untuk menikmatinya. Inci
demi inci keterpesonaan ini melahirkan getaran rindu yang syahdu.
‘El, aku ingin menikmati keindahan Tuhan
yang ada padamu. Aku ingin memilki keindahan itu.’
Kata-kata itu hanya tersumbat di
tenggorokan. Aku tak mampu mengatakannya. Lidahku kelu. Kesempurnaan yang amat
tabu untuk kumiliki. Kata-kata tak cukup untuk
membahasakan keindahan yang ada pada dirinya.
“Nggak apa-apa, aku terpesona dengan keanggunanmu,
El”
“Hemmmmm,,, mulai deh gombalnya..”
Seakan tanpa menyisakan beban El
mendorong dahiku dengan telunjuk tangan kanannya yang mungil. Pipinya
mengembang bersemu merah. El duduk di sampingku. Seperti seorang penganten,
baunya wangi di ujung hidung. Semakin lama wangi itu mengantarkanku pada sosok
perempuan yang sering kucipta dalam mimpiku.
Ini adalah kesalahan. Ini adalah
penghianatan. Ya Allah, apa perasaanku ini salah?
Pada suatu sore yang hakiki, aku
memandangi taburan bunga berbentuk matahari di taman kampus. Aku ingin sejenak
membangun keindahan bersama sosok perempuan dalam mimpiku.
“Assalamu’alaikum, Mas ada dimana?” El
mengirim pesan pendek ke dalam kotak masuk pesanku.
Seperti ada sesuatu yang lain merasuk
dalam dada saat aku lihat ternyata El yang mengirim pesan pendek.
“Mas ada di taman kampus, El”
“El ke sana yah...”
Belum sempat aku balas, dengan senyumnya
yang khas El sudah berdiri anggun di sampingku. Lagi-lagi mataku terpenjara
pada rerimbun keindahan senyum El. El berbalik menatapku dengan dua matanya
yang sejuk. Ada kerinduan di sana.
Setiap kali menatap sosok El, pikiranku
selalu saja menemukan sosok perempuan khayalanku. Sudah berabad-abad aku
melukis sosok perempuan indah berjilbab, tapi begitu abstrak bagiku. Ia hanya
ada dalam pikiranku. Ia seperti nyata tapi tidak ada. Ia ada tapi tidak nyata.
“Kok tumben ada di taman, Mas? Biasanya Mas
kan senang banget baca buku,,”
“Karenamu aku jadi begini, El”
Alisnya yang sabit diangkat. Kemudian tersenyum
sambil sesekali menghirup udara senja. Matanya terpejam menyatu. Imajenasinya
terbang bersama kicauan burung-burung yang hendak kembali ke sangkarnya.
Perasaannya mengalir bersama aliran air mancur yang tumbuh meloncat di tengah
taman.
Berawal dari intensitas pertemuanku
dengan El, aku merasa ingin sekali merasakan udara senja. Buku tak cukup
memberikan kebahagiaan bagiku. Tidak seperti kehadiran El di sore itu. Setiap
kali aku membuka lembaran-lembaran buku karangan Yasraf, yang ada hanya
bayangan perempuan idamanku. Aku sudah mulai tertatih-tatih memahami analogi rizhome yang dicetuskan Deleuze dan Guattari.
Pikiranku sudah sulit mengarungi pemikiran-pemikiran Alan Touraine tentang
proses akhir sosial yang katanya sebagai akibat modernisasi yang telah mencapai
titik ekstrimnya.
“Mas, aku punya sesuatu buat kamu..”
Elfi tersenyum. Aku takut tersesat dan tidak
bisa menemukan jalan kembali jika terus menerus menikmati senyuman El yang
memabukkan itu.
“Apa itu, El?”
El mengeluarkan sebuah buku tebal dari
dalam tasnya. Sampulnya bergambar perempuan berjilbab putih dengan senyum
merekah di bibirnya. Senyum yang sering aku temui di bibir manis El. Buku itu ternyata
sebuah novel berjudul Perempuan Surga. Tapi aku masih terpana oleh sosok gambar
di sampul Novel itu. Sejenak aku membandingkannya dengan sosok El yang begitu
nyata di depanku.
“El, bukannya ini kamu yah...”
El hanya tertawa melihat keherananku. suaranya
renyah dan halus di telinga.
“Nggak usah kaget gitu lah, Mas!”
El melumat wajahku dengan jari-jari
tangannya yang halus. Seperti ada sentuhan lain saat tangan El yang lembut
menyentuh wajahku.
“Iya Mas, ini novelku yang kedua. Gambar
sampulnya sengaja diambil dari fotoku sendiri. Katanya sih aku lebih cocok jadi
gambar sampulnya,,”
Subhanallah! Gadis di sampingku ini
benar-benar luar biasa. Umurnya masih 19 tahun tapi sudah produktif melahirkan
buku. Beda dengan aku yang sudah berumur 21 tahun tapi masih belum bisa
melahirkan sesuatu. Novel yang kupegang saat ini ternyata sudah novelnya yang
kedua setelah Lelaki Senja.
Nyaliku semakin ciut di depannya. Sangat
pantas ia menjadi gambar sampul di novelnya yang kedua, sebab aku rasa El
adalah jelmaan bidadari. Yah bidadari. Parasnya anggun dan mempesona disertai
dengan kedalaman ilmu agama yang dimilikinya. Aku tahu dari temanku. Katanya sebelum
masuk di dunia mahasiswa, dulu El pernah nyantri
di salah satu pesantren terkenal di Jawa Timur. Dan juga pernah beberapa kali
menjuarai lomba karya cerpen tingkat regional dan nasional.
“Mas, kok malah bengong sih? Dibaca
yah,, ini kali pertama aku dekat sama cowok dan memberinya novel,,”
Aku bergeming. Darahku seperti tidak
mampu mengalir lagi. Sosoknya sudah sekian detik berlalu dari hadapanku.
Menyisakan keindahan yang entah apa aku menamakannya. Terlalu sulit untuk menerjemahkannya
ke dalam bahasa. Biar Tuhan saja yang mengatur. Aku percaya ini rencana Tuhan.
Aku hanya mampu merasakan demam yang aku
tidak tahu sampai kapan akan sembuh. Barangkali sampai aku bisa memeluknya. Mungkin.
Siapa dia? Elfi? Atau sosok perempuan yang aku cipta dalam khayal?
Rasanya rindu semakin menumpuk. Kisah
demi kisah yang meloncat dari lembar ke lembar dalam novel Perempuan Surga, aku
menemukan sosok perempuan khayalku. Ia persis menyerupai sosok gadis yang aku
cipta dari pengembaraan imajenasi. Semakin jauh aku mengarungi kata ke dalam
kalimat, kalimat ke dalam paragraf, dan seterusnya yang lahir adalah senyum El
di setiap lembar buku yang aku baca.
Mungkinkah gadis itu adalah El? Rasanya
musykil sekali. Apakah ini kejutan Tuhan? Rasanya tumben sekali kalau Tuhan
memberiku kejutan seperti itu. Tapi aku tidak menafikan bahwa ada kesejukan
dalam hati saat bayangan El selalu datang dalam keseharianku.
Pada sepertiga memasuki pertengahan
malam, lamunanku terenggut oleh nada pesan hand
phoneku.
Ternyata pesan dari El. Ia menanyakan
aku lagi ngerjain apa.
Aku masih sibuk menata jejak lamunan
yang sedari tadi timbul tenggelam dalam khayal. Bayanganku meloncat pada pagelaran
sore di taman kampus. Elfi. Gadis itu telah memaksaku berkelana ke dalam
keindahan yang ia cipta. Sikapnya yang santun, suaranya yang lembut seperti suara
melodi pada tangga nada yang entah ke berapa aku sampai lupa menghitungnya.
Perkiraanku benar. Aku sudah mulai tersesat dalam rerimbun mata, alis, hidung,
bibir dan seluruh bagian tubuhnya yang sempurna.
Aku tengah tersesat ke dalam pesonamu El,
balasku. Aku tengah mendayung rasa yang selalu melahirkan kebahagiaan setiap
aku menyelaminya. El hanya tersenyum dalam bahasa pesan. Mata dan pikiranku
mulai tertarik pada kedalaman rindu yang semakin relung. Wajah El terus menari-nari
diantara dua alisku. Seperti tarian india Rani Mukherji di depan The King of Romantic Shakhrul Khan. Aku
ingin segera menemukan ujung dari rasa yang tengah melandaku ini.
“Mas, aku ingin menatap matamu lebih
dekat,,”
“Kenapa dengan mataku, El?”
“Aku menemukan kenyamanan dan kedamaian
dalam matamu, Mas”
Elfi memujiku setinggi langit yang tidak
aku tahu tepinya. Jangan memujiku seperti itu El. Aku beneran Mas, jawabnya.
El, aku takut jadi korban kebesaran rasa sesaat yang tiba-tiba terjerembab oleh
kepalsuan bahasa. Di dekatmu aku seperti menemukan kembali senyumku, katanya.
Ah, aku hampir tidak mengerti bahasa perempuan. Bahasanya terlalu halus.
Sementara aku sudah terlalu sering memakan bebatuan pegunungan yang bahasanya
penuh dengan kerikil tajam.
Di akhir percakapan malam itu, El
mengajakku berjumpa di taman kampus seperti tadi sore. Katanya ia ingin
menikmati udara senja bersama Lelaki Senja yang ia sayang.
“El, tiba-tiba aku merindukan senyummu.”
Bisikku.
Aku merindukan El seperti aku merindukan
sosok perempuan khayalku ada dalam nyata. Aku mulai jatuh pada benih-benih
cinta yang tumbuh di hatiku dan juga hatinya, mungkin. Semoga saja begitu.
Aku duduk berdua dengan El di sebuah
sore yang jingga. Menghadap ke arah badan taman yang dipenuhi bunga matahari,
sejuk rasanya. Seperti ingin berlama-lama saja duduk berdua dengan El. Sesekali
aku meliriknya seperti ada yang menarikku untuk selalu menatap wajahnya.
Terkadang mataku dan matanya bertemu pada satu titik tatapan. El hanya
tersenyum malu dengan pipi merah merona di balik balutan jilbab. Ya Tuhan,
ciptaan-Mu ini benar-benar sempurna.
“Mas curang,,”
Teriak El manja sambil memukul-mukul
kecil pundakku dengan kedua kepalan tangannya yang mungil. Aku pura-pura tidak
mengerti. Ada perasaan senang saat El merajut manja di sampingku.
“El, aku juga ingin menatap matamu”
“Kenapa?”
“Aku ingin mencari kebenaran atas rasa
yang aku punya. Beberapa hari ini aku merindukanmu, El. Tiba-tiba aku ingin
memintal sastra setiap kali membayangkan dirimu. Aku ingin belajar keindahan
bahasa pada para penyair untuk aku persembahkan padamu.”
“Mas, aku ingin kamu mengabadikan namaku
di hatimu. Lalu kita bersama-sama memasang batu cinta di hatiku dan hatimu.”
El menatapku dengan matanya yang bulan.
Ada kebenaran di sana. Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Nafasnya wangi sewangi
kesturi. Aku ingin lama menjelajahi alisnya yang hutan, menyusuri jalanan hidungnya
yang mancung menikung. Nafasku dan nafanya berhembus berkejaran tak beraturan
sangat dekat, hangat.
“Aku ingin menikmati pertemuan ini, mas”
El melumat kerinduanku dengan bibirnya
yang basah merah meloni. Nafasnya meloncat-loncat berletupan. Aku pun
membalasnya. Sore itu aku dan El melumat segala apa yang dirindukan.
Sore yang sempurna. Walau begitu, waktu
terasa cepat berlalu padahal ayat-ayat rindu masih belum sepenuhnya kubacakan. El
pamit pulang membawa setangkai bunga kebahagiaan yang ia petik dari perjamuan rasa.
El mengambil tanganku dan menciumnya. Damai hatiku.
El, rindu ini akan terus tercipta
untukmu. Walau terkadang sunyi kerap kali menghempaskanku pada gelora rindu
yang gagal kupecahkan pada setiap pertemuan. Tapi aku ingin mengekalkannya
dalam sebuah doa di setiap sujudku.
Latif Fianto
Ketua Ikatan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Cabang Malang dan tercatat sebagai Mahasiswa
Ilmu Komunikasi Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang. Saat ini tinggal di
Malang.
0 komentar:
Posting Komentar