Juni 09, 2013

Entahlah

“Pokoknya Rhea mau kuliah ndik sana!”
“Ibuk ndak kuat nduk, yo mbok ngerti” sahut Mama sambil menyiapkan makan malam.
Coba kalau Bapak ada ndik sini. Pasti dia ngerti opo seng Rhea rasain. Lagian kenapa Ibu Bapak cerai kalo cuma buat Rhea hidup dalam kemiskinan?
Plak….
Tamparan Ibu mengagetkanku, sejenak aku terdiam dan memandang mata Ibu yang berkaca-kaca.
“Bapakmu ora ngerti opo-opo nduk. Ibu dan Bapak cerai itu yo ono sebabe. Ini bukan urusanmu. Bocah mambu kencur ae. Ndak usah ngomongin Bapak lagi!”
 Mendengar kata-kata tersebut, aku semakin membenci Ibuku. aku sudah mencoba menerima perceraian kedua orang tuaku. Namun rasanya tak adil jika aku harus ikut Ibu yang serba kekurangan. Sedangkan masih terlalu banyak mimpi yang ingin aku wujudkan.

Ibu selalu menganggapku sebagai anak kecil. Entah kapan dia memperlakukanku sebagai gadis dewasa seperti yang lainnya. Sedangkan aku akan manginjak bangku kuliah, namun rasanya tak mungkin aku menikmati impian kampusku. Aku cuma ingin masuk ke Pendidikan Matematika dan merintis karir menjadi guru MTK. Hanya karena terhalang biaya, aku harus mengubur dalam-dalam impianku. “Huh….. kapan ya kira-kira turun hujan duit?” khayalku.

(Keesokan hari….)
“Sarapan dulu nduk! oJok lali ngomong nang Pakdemu. Hari ini kamu mesti daftar perguruan kan?”
“Nggeh Ibuk…..,” sahutku sinis sambil meninggalkan rumah tanpa menikmati sarapan.

Aku berjalan menuju rumah Pakdeku dengan berjalan kaki. Memang tidak terlalu jauh dari rumahku, namun rasanya seperti berjalan mengelilingi kota Jogjakarta. Mungkin karena pengaruh rasa kesalku. Pakdeku seorang dosen di salah satu Universitas swasta Yogyakarta. Beliaulah yang akan mandaftarkanku di jalur beasiswa. Gak masalah sih, hanya saja tak ada jurusan yang sesuai denganku.

Di pertengahan perjalanan, aku melihat seorang gadis kecil yang pincang sedang mengamen untuk mencari uang. Terlihat jelas bahwa kaki sebelah kanannya lebih pendek dibanding kaki kirinya. Entah karena kecelakaan atau cacat semenjak lahir. Aku heran mengapa dia begitu menikmati pekerjaanya, bahkan dia juga bercanda ria dengan teman sepengamenannya. Tanpa kenal lelah dia berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Rasanya seperti orang gila saat aku mengikutinya. Sesekali dia menoleh padaku sambil menatap curiga seolah-olah aku hendak merampoknya. Mau aku balas senyum, namun takut dia buang muka. Entahlah…… aku akan menghindari dan melupakannya.

Aku meneruskan perjalananku ke rumah Pakdeku, namun tak selang beberapa lama, aku melihat segerombolan anak muda yang menghabiskan waktu luang di pinggir jalan dengan menghisap sebatang rokok yang mereka pegang. Dengan pakaian compang-camping tak karu-karuan, dengan mode rambut cat warna pelangi, tak peduli wanita ataupun lelaki dan tak peduli semua orang memaki. Yang ada di benakku saat ini adalah begitu nyamankah mereka dengan keadaan itu? Sungguh ironis melihat mereka sebagai putra bangsa. Haruskah mereka bersikap seperti itu? Tidakkah mereka berpikir akan dibawa ke mana hidup mereka? Entahlah……..
Aku tetap tak peduli dan meneruskan perjalananku.
“Busyit, dasar kucing sialan” umpatku saat kucing besar berwarna belang menabrakku.
Nampak dari kejauhan, wanita paruh baya juga mengumpat kepada kucing yang sama.
“Dasar kucing edan….. awas ngambil ikanku lagi yo! Tak sawat baru tahu rasa.”

Memang kucing itu mengambil ikan goreng milik warga. Hanya saja ikan itu tak dimakan seorang diri. Dia membagikannya pada anak-anaknya. Sungguh seekor kucingpun rela disawat demi mencari makan untuk anaknya. Mengapa Tuhan membuatnya menjadi Ibu sedang dia tak mampu memberikan makan anaknya ya? Lagi-lagi jawabanya “entahlah”
Tak lama kemudian nasib sial datang kembali kepadaku.
“Sial…., untung ndak kena bajuku, dasar orang kaya ndak tahu diri……buang-buang makanan sembarangan.”
Ternyata di balik ada yang kekurangan juga ada yang kelebihan. Entah kapan di antara keduanya bisa saling melengkapi. Jawaban yang sama ENTAHLAH.
“Nduk nangdi ae? Dari tadi Pakde nungguin, kok nggak muncul-muncul?” suara Pakde membuyarkan pikiranku.
“Pakde? emm….. maap Pakde. Rhea ndak maksud untuk……...,” belum selesai aku berbicara Pakde sudah menyahut pembicaraanku.
“Sudah, sudah.. ora opo-opo. Ayo masuk mobil! Pakde wes telat.”

(Sesampainya di kampus)
Pendaftaran terjadi di ruang pendaftaran. Di sana terjadi percakapan antara aku dan petugas pendaftaran.
“Mau masuk jurusan mana mbak? ini hanya ada akuntansi, peternakan, agrobisnis………”
“Apa ada jurusan hukum?” tanyaku
Ada mbak. Mbak mau masuk ke sana?”
“he’em,”

Entah apa yang ada di pikiranku saat ini. Hukum sama sekali jauh dari bayanganku bahkan bukan background jurusan SMA-ku. Aku hanya mencoba mengambil keputusan, entah salah ataupun benar. Melihat perjalananku tadi, aku berpikir bahwa dunia penuh dengan pilihan, tinggal takdir yang membawanya. Namun bukan berarti aku harus berpangku pada takdir, namun takdirlah yang akan berpangku kepadaku.

Tetap saja pertanyaan-pertanyaan itu terus membekas di hatiku. Mengapa saya harus kuliah di sini? mengapa saya berasal dari sini? Mengapa Tuhan tak menciptakanku sebagai anak orang kaya? Mengapa Tuhan menciptakan orang cacat? Mengapa ada kejahatan jika kebaikan selalu menang? Mengapa ada kesalahan jika hanya membawa penyesalan? “ENTAHLAH” yang jelas ada maksud di balik itu semua.

Lalu bagaimana dengan impianku? Impian seseorang dapat berubah kapanpun. Impian seseorang juga tidak hanya satu. Entah sejak kapan aku ingin menjadi seorang pengacara. Dan kelak di saat aku sukses, akan kudirikan sekolah luar biasa untuk para penyandang cacat serta akan kudirikan panti asuhan untuk para gelandangan. Entah kapan itu akan terwujud, entah 2, 3 atau 10 tahun lagi. Yang jelas, itu pasti.

Mungkin Ibuk ndak bisa memberikan yang lebih untukku. Sekarang pertanyaannya bisakah aku memberikan lebih sedangkan cukup pun belum pernah ku berikan padanya?

“Entahlah…….tapi harus.”



Oleh: Syak_Iz

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo