“Pokoknya Rhea mau kuliah ndik
sana !”
“Ibuk ndak kuat nduk, yo mbok ngerti” sahut
Mama sambil menyiapkan makan malam.
“Coba kalau Bapak ada ndik sini. Pasti dia
ngerti opo seng Rhea rasain. Lagian kenapa Ibu Bapak cerai kalo cuma buat Rhea
hidup dalam kemiskinan?”
Plak….
Tamparan Ibu mengagetkanku, sejenak aku
terdiam dan memandang mata Ibu yang berkaca-kaca.
“Bapakmu ora ngerti opo-opo nduk. Ibu dan Bapak
cerai itu yo ono sebabe. Ini bukan urusanmu. Bocah mambu kencur ae. Ndak usah ngomongin
Bapak lagi!”
Ibu selalu menganggapku sebagai anak kecil. Entah
kapan dia memperlakukanku sebagai gadis dewasa seperti yang lainnya. Sedangkan
aku akan manginjak bangku kuliah, namun rasanya tak mungkin aku menikmati
impian kampusku. Aku cuma ingin masuk ke Pendidikan Matematika dan merintis
karir menjadi guru MTK. Hanya karena terhalang biaya, aku harus mengubur
dalam-dalam impianku. “Huh….. kapan ya kira-kira turun hujan duit?” khayalku.
(Keesokan hari….)
“Sarapan dulu nduk! oJok lali ngomong nang Pakdemu.
Hari ini kamu mesti daftar perguruan kan ?”
“Nggeh Ibuk…..,” sahutku sinis sambil
meninggalkan rumah tanpa menikmati sarapan.
Aku berjalan menuju rumah Pakdeku dengan berjalan
kaki. Memang tidak terlalu jauh dari rumahku, namun rasanya seperti berjalan mengelilingi
kota Jogjakarta .
Mungkin karena pengaruh rasa kesalku. Pakdeku seorang dosen di salah satu
Universitas swasta Yogyakarta . Beliaulah yang
akan mandaftarkanku di jalur beasiswa. Gak masalah sih, hanya saja tak ada
jurusan yang sesuai denganku.
Di pertengahan perjalanan, aku melihat seorang gadis
kecil yang pincang sedang mengamen untuk mencari uang. Terlihat jelas bahwa
kaki sebelah kanannya lebih pendek dibanding kaki kirinya. Entah karena
kecelakaan atau cacat semenjak lahir. Aku heran mengapa dia begitu menikmati
pekerjaanya, bahkan dia juga bercanda ria dengan teman sepengamenannya. Tanpa
kenal lelah dia berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain. Rasanya seperti
orang gila saat aku mengikutinya. Sesekali dia menoleh padaku sambil menatap
curiga seolah-olah aku hendak merampoknya. Mau aku balas senyum, namun takut
dia buang muka. Entahlah…… aku akan menghindari dan melupakannya.
Aku meneruskan perjalananku ke rumah
Pakdeku, namun tak selang beberapa lama, aku melihat segerombolan anak muda
yang menghabiskan waktu luang di pinggir jalan dengan menghisap sebatang rokok
yang mereka pegang. Dengan
pakaian compang-camping tak karu-karuan, dengan mode rambut cat warna
pelangi, tak peduli wanita ataupun lelaki dan tak peduli semua orang memaki.
Yang ada di benakku saat ini adalah begitu nyamankah mereka dengan keadaan itu?
Sungguh ironis melihat mereka sebagai putra bangsa. Haruskah mereka bersikap
seperti itu? Tidakkah mereka berpikir akan dibawa ke mana hidup mereka?
Entahlah……..
Aku tetap tak peduli dan meneruskan
perjalananku.
“Busyit, dasar kucing sialan” umpatku saat
kucing besar berwarna belang menabrakku.
Nampak dari kejauhan, wanita paruh baya
juga mengumpat kepada kucing yang sama.
“Dasar kucing edan….. awas ngambil ikanku
lagi yo! Tak sawat baru tahu rasa.”
Memang kucing itu mengambil ikan goreng milik warga.
Hanya saja ikan itu tak dimakan seorang diri. Dia membagikannya pada
anak-anaknya. Sungguh seekor kucingpun rela disawat demi mencari makan untuk
anaknya. Mengapa Tuhan membuatnya menjadi Ibu sedang dia tak mampu memberikan
makan anaknya ya? Lagi-lagi jawabanya “entahlah”
Tak lama kemudian nasib sial datang kembali
kepadaku.
“Sial…., untung ndak kena bajuku, dasar
orang kaya ndak tahu diri……buang-buang makanan sembarangan.”
Ternyata di balik ada yang kekurangan juga
ada yang kelebihan. Entah kapan di antara keduanya bisa saling melengkapi.
Jawaban yang sama ENTAHLAH.
“Nduk nangdi ae? Dari tadi Pakde nungguin,
kok nggak muncul-muncul?” suara Pakde membuyarkan pikiranku.
“Pakde? emm….. maap Pakde. Rhea ndak maksud
untuk……...,” belum selesai aku berbicara Pakde sudah menyahut pembicaraanku.
“Sudah, sudah.. ora opo-opo. Ayo masuk
mobil! Pakde wes telat.”
(Sesampainya di kampus)
Pendaftaran terjadi di ruang pendaftaran.
Di sana terjadi
percakapan antara aku dan petugas pendaftaran.
“Mau masuk jurusan mana mbak? ini hanya ada
akuntansi, peternakan, agrobisnis………”
“Apa ada jurusan hukum?” tanyaku
“Ada
mbak. Mbak mau masuk ke sana ?”
“he’em,”
Entah apa yang ada di pikiranku saat ini. Hukum sama
sekali jauh dari bayanganku bahkan bukan background jurusan SMA-ku. Aku
hanya mencoba mengambil keputusan, entah salah ataupun benar. Melihat
perjalananku tadi, aku berpikir bahwa dunia penuh dengan pilihan, tinggal
takdir yang membawanya. Namun bukan berarti aku harus berpangku pada takdir,
namun takdirlah yang akan berpangku kepadaku.
Tetap saja pertanyaan-pertanyaan itu terus membekas di
hatiku. Mengapa saya harus kuliah di sini? mengapa saya berasal dari sini?
Mengapa Tuhan tak menciptakanku sebagai anak orang kaya? Mengapa Tuhan menciptakan
orang cacat? Mengapa ada kejahatan jika kebaikan selalu menang? Mengapa ada
kesalahan jika hanya membawa penyesalan? “ENTAHLAH” yang jelas ada maksud di balik
itu semua.
Lalu bagaimana dengan impianku? Impian seseorang dapat
berubah kapanpun. Impian seseorang juga tidak hanya satu. Entah sejak kapan aku
ingin menjadi seorang pengacara. Dan kelak di saat aku sukses, akan kudirikan
sekolah luar biasa untuk para penyandang cacat serta akan kudirikan panti
asuhan untuk para gelandangan. Entah kapan itu akan terwujud, entah 2, 3 atau
10 tahun lagi. Yang jelas, itu pasti.
Mungkin Ibuk ndak bisa memberikan yang lebih untukku.
Sekarang pertanyaannya bisakah aku memberikan lebih sedangkan cukup pun belum
pernah ku berikan padanya?
“Entahlah…….tapi harus.”
Oleh: Syak_Iz
0 komentar:
Posting Komentar