Juni 18, 2013

Memoar

Pagi itu begitu indah. Sebab, cahaya matahari  mulai kelihatan memancarkan kerinduan dari ufuk timur. Sehingga bunga yang bermekaran dan siul merpati mulai kedengaran. Seperti biasa jika pagi telah datang, aku dibuat tersenyum olehnya. Saat dia mengintipku lewat jendela kamarnya, wajahnya seperti bulan purnama di malam hari. Cahayanya begitu indah  memancarkan keteduhan. Sementara kedua bola matanya, begitu elok seperti permata dan ombak yang setia memeluk laut. Di sana aku tak menjumpai hujan yang turun dari pelupuk matanya. Sementara matahari belum saja beranjak jauh sehingga tatapannya masih tajam aku tangkap. Dalam dirinya aku merasakan ada getaran rindu yang semakin bergelora. Sebab lama rasanya tak berjumpa membuatku semakin merindukannya. Tanpa aku sadari hati ini telah lama terpikat olehnya.
Namanya Intan Safitri. Tapi teman-teman di sekolahnya lebih suka memanggilnya dengan sebutan Intan. Katanya sih... biar lebih akrab dan enak lagi kedengarannya. Dia dari keluarga yang sederhana. Bapaknya sebagai tukang cangkul di sawah. Berangkat pagi pulang petang. Sementara ibunya telah lama menekuni pekerjaannya sebagai pembuat tikar dari daun pohon siwalan yang hasilnya kadang dijual ke pasar, kadang juga karena ada pesanan. Hasilnya lumayan, cukup untuk membiayai Intan buat uang sakunya tiap hari  ke sekolah. Hari-harinya dia habiskan dengan keluarganya dan berbakti sebagai kewajibannya sebelum aku menjadi hari baginya. Jika pagi telah datang dia mulai menanak, menyapu kadang juga menimba air dari sumur. 

Aku mengenalnya semenjak dia sudah berusia 15 tahun. Saat masih duduk di bangku SMP Margadin. Walaupun dia dibesarkan dari keluarga yang status ekonominya menengah ke bawah. Tapi kekurangan ini tidak membuatnya patah semangat melainkan dari kekurangan itulah dia menjadi tumbuh  lebih dewasa lagi. 

Pada suatu hari, ketika teman-teman yang lain belum banyak yang datang. Aku melihat dia sedang duduk sebelum matahari tiba. Tepatnya di samping sekolah di bawah pohon mangga. Dalam pikirku berkata “inilah waktu yang tepat untuk menembaknya”. Pelan-pelan ku intip dari celah-celah dedaunan. Namun, tiba-tiba saja ada temannya yang memergogiku sangkanya mau berbuat yang tidak-tidak. Namanya Nurul, anak desa Banyuayu. Dia teman sebangkunya.

“Hai… lagi apa nich?” sambil memukul pundakku.
“Akh… kau ini mengagetkan saja” jawabku sedikit terengah-engah sambil mengatur nafas akibat hentakan tadi.
“Terus mau ngapain? ngintip wanita di pagi hari di tempat sepi lagi” kata Nurul.
“Bukannya mau ngapa-ngapain, cuma mau lihat Intan aja” jawabku. Kemudian aku menyusulnya lagi dengan suatu pemintaan.
“Ech… bisa minta tolong gak? Surat ini tolong kasih ma Intan.”
Tak lama kemudian, Nurul beranjak pergi dari tempatku yang tadi sedang mengintip Intan. Hati ini pun mulai deg-degan. Rasanya ingin tahu jawabannya. Setelah surat itu sampai Intan mulai membacanya pelan-pelan.

To: Intan Safitri
-          di Banyuayu

Mengawali surat ini, Tan
Ingin aku sampaikan padamu tentang suatu hal yang telah membuatku kadang jadi ketawa, sedih dan juga kadang membuatku jadi bahagia. Berawal dari tatapanmu sewaktu kita masih duduk bersama di bangku XI SMP Margadin. Aku jadi jatuh cinta padamu. Sebagaimana kita kadang melihatnya di TV. jika orang bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu juga denganku, Tan
Lewat secuil kata-kata ini. Bukan bemaksud untuk berpuisi tapi inilah ungkapan hati yang sebenarnya. Jika aku telah jatuh cinta padamu.
Demi tuhan aku mencintaimu, Tan
Intan kau purnamaku.

From: Stiawan
           
Intan kau purnamaku. Begitulah aku menyebutnya di akhir-akhir panggalan suratku.
Empat hari berlalu, aku telah sah diterima menjadi cowoknya. Aku bahagia sekali mendengar kabar itu. Bunga dalam hatiku mulai bermekaran walaupun tanpa aku menyiramnya dengan air. Dan aku pun jadi tumbuh di dalam hatinya.
* * * * * * *
1 tahun berikutnya  
aku mulai berangkat dan pulang bareng. Karena memang rumah kami satu desa hanya dibatasi oleh sungai dan gunung. Walupun secara status kami berbeda. Tapi aku mencintainya bukan sebatas pipi. Melainkan lebih dari hati. Hari-hari yang telah berlalu kami habiskan untuk terus bersama. Tanpa terasa usia cinta kami telah genap 1 tahun lamanya. Setelah Ujian Akhir Nasional (UAN) kami mulai jarang ketemu. Karena sekolah kami agak sedikit renggang masuknya. Kadang satu minggu hanya tiga atau dua hari masuknya. Pada akhirnya Haflah pun di gelar saat semuanya telah selesai semesteran. Sehabis karnaval, malam itu adalah malam yang luka bagiku. Sebab pada malam berikutnya aku tak bisa lagi melihat tawanya, senyumnya yang sumringah serta kelembutan sikapnya. Karena keesokan harinya aku akan berangkat ke kota untuk meneruskan mimpiku menjadi seorang penyair. 

Saat momen perspisahan telah di pentaskan, aku dengan kaku berjalan menaiki panggung dengan membawa lilin yang telah dipersiapkan sebelumya, yang diikuti oleh teman-teman lain. Antara bahagia dan gelisah menjadi satu.  Sebelum waktu benar-benar telah memisahkan aku dengan dia. Aku melempar satu senyuman baru, yang lebih hangat dan bergairah melebihi batas naluriku sebagai manusia. Alunan musik dan desir angin telah mengantarkanku sekaligus sebagai saksi perpisahan ini.

By: Stiawan

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo