Pagi itu begitu indah. Sebab, cahaya matahari mulai kelihatan memancarkan kerinduan dari
ufuk timur. Sehingga bunga yang bermekaran dan siul merpati mulai kedengaran.
Seperti biasa jika pagi telah datang, aku dibuat tersenyum olehnya. Saat dia
mengintipku lewat jendela kamarnya, wajahnya seperti bulan purnama di malam
hari. Cahayanya begitu indah memancarkan
keteduhan. Sementara kedua bola matanya, begitu elok seperti permata dan ombak
yang setia memeluk laut. Di sana
aku tak menjumpai hujan yang turun dari pelupuk matanya. Sementara matahari belum
saja beranjak jauh sehingga tatapannya masih tajam aku tangkap. Dalam dirinya
aku merasakan ada getaran rindu yang semakin bergelora. Sebab lama rasanya tak
berjumpa membuatku semakin merindukannya. Tanpa aku sadari hati ini telah lama
terpikat olehnya.
Namanya Intan Safitri. Tapi teman-teman di sekolahnya lebih suka
memanggilnya dengan sebutan Intan. Katanya sih... biar lebih akrab dan enak
lagi kedengarannya. Dia dari keluarga yang sederhana. Bapaknya sebagai tukang
cangkul di sawah. Berangkat pagi pulang petang. Sementara ibunya telah lama
menekuni pekerjaannya sebagai pembuat tikar dari daun pohon siwalan yang
hasilnya kadang dijual ke pasar, kadang juga karena ada pesanan. Hasilnya lumayan,
cukup untuk membiayai Intan buat uang sakunya tiap hari ke sekolah. Hari-harinya dia habiskan dengan
keluarganya dan berbakti sebagai kewajibannya sebelum aku menjadi hari baginya.
Jika pagi telah datang dia mulai menanak, menyapu kadang juga menimba air dari
sumur.
Pada suatu hari, ketika teman-teman yang lain belum banyak yang datang. Aku melihat dia sedang duduk sebelum matahari tiba. Tepatnya di samping sekolah di bawah pohon mangga. Dalam pikirku berkata “inilah waktu yang tepat untuk menembaknya”. Pelan-pelan ku intip dari celah-celah dedaunan. Namun, tiba-tiba saja ada temannya yang memergogiku sangkanya mau berbuat yang tidak-tidak. Namanya Nurul, anak desa Banyuayu. Dia teman sebangkunya.
“Hai… lagi apa nich?” sambil memukul pundakku.
“Akh… kau ini mengagetkan saja” jawabku sedikit terengah-engah
sambil mengatur nafas akibat hentakan tadi.
“Terus mau ngapain? ngintip wanita di pagi hari di tempat sepi lagi”
kata Nurul.
“Bukannya mau ngapa-ngapain, cuma mau lihat Intan aja” jawabku.
Kemudian aku menyusulnya lagi dengan suatu pemintaan.
“Ech… bisa minta tolong gak? Surat
ini tolong kasih ma Intan.”
Tak lama kemudian, Nurul beranjak pergi dari tempatku yang tadi sedang
mengintip Intan. Hati ini pun mulai deg-degan. Rasanya ingin tahu jawabannya.
Setelah surat
itu sampai Intan mulai membacanya pelan-pelan.
To: Intan
Safitri
-
di
Banyuayu
Mengawali
surat ini, Tan
Ingin aku
sampaikan padamu tentang suatu hal yang telah membuatku kadang jadi ketawa,
sedih dan juga kadang membuatku jadi bahagia. Berawal dari tatapanmu sewaktu kita
masih duduk bersama di bangku XI SMP Margadin. Aku jadi jatuh cinta padamu.
Sebagaimana kita kadang melihatnya di TV. jika orang bisa jatuh cinta pada
pandangan pertama. Begitu juga denganku, Tan
Lewat secuil
kata-kata ini. Bukan bemaksud untuk berpuisi tapi inilah ungkapan hati yang
sebenarnya. Jika aku telah jatuh cinta padamu.
Demi tuhan
aku mencintaimu, Tan
Intan kau
purnamaku.
From: Stiawan
Intan kau
purnamaku. Begitulah aku menyebutnya di akhir-akhir panggalan suratku.
Empat hari berlalu, aku telah sah diterima menjadi cowoknya. Aku
bahagia sekali mendengar kabar itu. Bunga dalam hatiku mulai bermekaran walaupun
tanpa aku menyiramnya dengan air. Dan aku pun jadi tumbuh di dalam hatinya.
* *
* * * * *
1 tahun berikutnya
aku mulai berangkat dan pulang bareng.
Karena memang rumah kami satu desa hanya dibatasi oleh sungai dan gunung.
Walupun secara status kami berbeda. Tapi aku mencintainya bukan sebatas pipi.
Melainkan lebih dari hati. Hari-hari yang telah berlalu kami habiskan untuk
terus bersama. Tanpa terasa usia cinta kami telah genap 1 tahun lamanya.
Setelah Ujian Akhir Nasional (UAN) kami mulai jarang ketemu. Karena sekolah
kami agak sedikit renggang masuknya. Kadang satu minggu hanya tiga atau dua
hari masuknya. Pada akhirnya Haflah pun di gelar saat semuanya telah selesai
semesteran. Sehabis karnaval, malam itu adalah malam yang luka bagiku. Sebab
pada malam berikutnya aku tak bisa lagi melihat tawanya, senyumnya yang sumringah
serta kelembutan sikapnya. Karena keesokan harinya aku akan berangkat ke kota untuk meneruskan
mimpiku menjadi seorang penyair.
Saat momen perspisahan telah di pentaskan, aku
dengan kaku berjalan menaiki panggung dengan membawa lilin yang telah dipersiapkan
sebelumya, yang diikuti oleh teman-teman lain. Antara bahagia dan gelisah
menjadi satu. Sebelum waktu benar-benar
telah memisahkan aku dengan dia. Aku melempar satu senyuman baru, yang lebih
hangat dan bergairah melebihi batas naluriku sebagai manusia. Alunan musik dan
desir angin telah mengantarkanku sekaligus sebagai saksi perpisahan ini.
By: Stiawan
By: Stiawan
0 komentar:
Posting Komentar