Aku kembali pada labuhan rasaku, hati. Bagaimana
rinduku yang tak pernah terjawab. Pertanyaan dimana yang sampai saat ini aku
tak pernah mendengar darimu lagi. Padahal aku telah letih. Aku letih merindukanmu.
Aku letih terus mengeja namamu. Sangat. Letihku membuncak, dan kau tahu kenapa?
Aku tak pernah mendapatkan jawaban cinta darimu, aku tak lagi mendengar ucapan tunggu
darimu. Kau hempaskan harapanku ditegah gersangnya rasa. Kau toreh hatiku
disaat badai menggelegarkan suaranya. Tepat ditelingaku. Dan aku terkapar.
Nafasku terengah, aku linglung, aku tak punya daya. Dan sampailah aku tak mampu
ingat kembali siapa yang mengajariku cinta pertama kali. Aku lupa, aku tak
mampu membaca petikan bahasa dari bola mata emak. Aku buta, aku pun tak mampu
menafsiri sentuhan tangan emak, aku lumpuh.
Ayah, aku telah mati bersama
harapan panjangku. Aku mati bersama nada-nada cinta dari hatiku yang terlampau
kering. Aku telah mati, sebelum aku tahu apa itu hidup yang sebenarnya. Hidup
yang kata banyak orang mengajari kita mencintai dan dicintai, hidup yang
katanya mengajak kita tersenyum bahkan terbahak-bahak bahagia, mengajari kita
dewasa, mengajari kita berjalan dan mengedipkan mata pada birunya langit. Tapi
sayang ayah, aku tak pernah mendapati itu. Aku belum tahu tentang cinta, aku
masih belum tahu seperti apa orang dewasa, aku masih tak tahu cara berdiri dan
mengedipkan mata. Karena aku lumpuh, aku buta ayah. Karena kau yang tak pernah
kembali menemuiku. Padahal, aku masih kaku disini, menunggumu di depan jendela
kamar tuaku. Pemberianmu. Jendela yang biasa menjadi tabir percakapan antara
kita dipagi hari.
@@@
”apa yang kamu rasakan hanya dirimu yang tahu,
orang lain hanya mampu menjadi kaki untuk membantumu berdiri, melangkah lalu
berlari. Dan aku bersedia menjadi kaki untukmu. Aku bersedia mengajarimu
bagaimana cara berdiri” ungkap Naina, seraya menepuk bahuku lalu tersenyum
meyakinkanku. ”tapi sayang, sampai kapanpun kau tak kan bisa membuatku berdiri.
Aku tak punya pahlawan sepertimu. Andai kau tahu, kakiku hampir lumpuh,
tanganku hampir patah, dan mataku hampir buta. Aku harus berjuang sendirian
melawan kerasnya kehidupan ini. Sedangkan kau? Kau tidak begitu. Kau masih
memiliki mereka yang akan memperjuangkan pendidikanmu, kerjamu bahkan segala hidupmu nanti.
Sedangkan aku, aku belum tahu pasti. Apakah besok aku akan tetap hidup. Apakah
besok aku akan tetap bertahan berdiri di Universitas ini untuk melanjutakan
pendidikanku sampai memakai toga wisuda? Aku tak tahu Naina. Aku tak yakin. Aku
memang masih punya emak, tapi diapun juga sudah tua, tak punya banyak hal untuk
dapat membiayaiku. Dia hanya pedagang asongan. Yang berjualan tiap minggu
sekali, dan itupun tidak menjamin ia mendapatkan sepeser uang. Apa kau masih
mau menjamin mengajariku tetap berdiri hanya dengan hidupku yang begini? Tidak
Naina. Kau tidak akan pernah bisa!” air mataku mengalir deras. Aku sangat sakit
atas keadaan yang membuatku tidak memilki harapan banyak tentang keindahan
hidup. Aku sakit Tuhan. ”jangan berpikir begitu, kau harus tahu, bahwa kau
merupakan orang yang terpilih yang mampu mengajari orang lain tentang
ketegaran. Bahkan bagiku.
Aku sadar Ra, sebelum kau ceritakan hal ini padaku,
aku tak pernah berpikir, aku tak pernah menganggap ayahku sebagai pahlawanku. Karena
jika aku juga berpikir begitu, bagaimana dengan seorang ayah yang berdusta pada
keluarganya, apa mereka juga akan dikatakan pahlawan?. Tapi saat ini aku tahu
jawabannya. Dan itu dari kamu Ra. Bahwa bagaimanapun ayah, dia tetap pahlawan.
Yang akan selalu menjadi pembela kita, yang membuat kita merasa terlindungi
dari segala bahaya” Naina menunduk. Ada tetesan air mata yang kulihat darinya.
”Tuhan tidak buta Ra, Tuhan tidak tuli. Tidak ada ayah, tapi masih ada tuhan.
Dia yang akan mendengar segala sakitmu. Dia yang akan menjawab semua
pertanyaanmu yang tidak pernah kau dapatkan dari ayahmu. Dan aku sadar satu hal
Ra, bahwa mulai saat ini, aku benar-benar harus memperjuangkan hidupku. Hidup
ayah ibuku, karena aku tahu hidup ini sebentar. Kau benar Ra. Sebelum mereka
pergi, seharusnya kita mampu menbuat mereka tersenyum karena cinta kita” Naina
menghapus air matanya, lalu menyodorkan senyumannya dihadapanku. Aku mengerti,
dia hanya ingin membuatku tenang. Padahal, ada sakit yang juga ia rasakan. ”hah,..
aku mengerti, terimakasih sudah mengajakku berpikir tentang adanya tuhan.
Terimakasih
mampu membuat aku sadar, bahwa Tuhan tidak pernah alpa dalam kehidupan ini. Aku
akan buktikan, dengan segala kesederhanaan bahkan kekuranganku ini. Aku mampu
menjadi pahlawan bagi ibu dan keluargaku. Aku akan buktikan bahwa ayah tidak
pernah sia-sia mengajariku akan hidup yang sesaat” aku kembali berdiri. Aku
kembali menatap langit yang lama tak kusadari akan birunya yang indah. Akupun
kembali belajar tersenyum untuk dunia, karena mulai tahu. Bahwa tuhan tidak akan
pernah pergi dari sampingku. Aku juga tahu, bahwa emak disana butuh
perjuanganku untuk kembali kesampingnya saat nanti ia tak mampu berbuat
apa-apa. Yah, aku harus berdiri, aku harus melangkah dan berlari.
Aku tidak
akan pernah kalah pada kehidupan yang tak menjanjikan ini. ”aku janji. Mulai
saat ini, aku akan berjuang untuk hidupku. Yah, kau benar Naina. Bukan hanya
emak dan ayah yang menjadi pahlawan bagi kita. Tapi kitapun harus menjadi pahlawan
bagi mereka, kita harus menjadi orang yang melindungi mereka dan pahlawan saat
mereka sudah tak mampu mengedipkan kedua mata mereka” tangisku kembali.
Jantungku berdegub kencang. Terlintas bayangan emak diseberang sana. Wajahnya
yang telah kusam dan keriput, seakan menawarkan senyum untukku. Tuhan, izinkan aku
membahagiakan dia sebelum kau juga mengambilnya dariku. Karena aku tak mau dia
mati tanpa cinta....maaf jika aku harus kembali menangis untukmu disana emak...
Dan untukmu, yang masih memiliki mereka
Sudahkah kau berjuang untuk mereka?
Sudahkah kau memberikan sesuatu untuk hidup mereka
disana yang mati-matian memperjuangkan hidupmu? Memperjuangkan nyawa hanya
untukmu.
Ingat satu hal sahabat, hidup hanya sebentar.
Kalau bukan saat ini, kapan lagi kau akan membuat ayah ibumu bangga memilikimu?
Jangan sampai menyesal sepertiku, yang belum
berhasil membuat ayah bangga memiliki aku, sebagai anaknya.
Oleh: Rara Zarary, Mahasiswa Komunikasi Unitri Malang
**Terimakasih telah menjadi inspirasiku tentang adanya Tuhan. Sahabat Naina
Sumber: Pena Kampus Cetak
0 komentar:
Posting Komentar